Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi. Bangunan semacam tugu dengan
ukuran diameter jam ini adalah 80 cm,
dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter dengan bulatan jam
di keempat sisi bagian atasnya, Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926
sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de
Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo
Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama
Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya
sekitar 3.000 Gulden,
biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun
dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap
orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai
penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi
Mesin Jam Gadang diyakini hanya ada
dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben,
Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman
(seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan
besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir
putih. Ruangan bawah Jam Gadang pernah dimanfaatkan sebagai loket karcis
terminal, pos polisi, dan gudang pada 1970.
Bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang disebut dalam literatur
Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak.
Sebetulnya, di zaman Belanda, toren alias menara itu dibangun untuk mengintai
gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.
Perubahan Puncak Jam Gadang
Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang
dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam
jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian
untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim
dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.
Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka
Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa
kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat seperti rumah adat
Minangkabau. Dan disain yang terakhir ini bertahan hingga sekarang
Keunikan Jam Gadang
Sepintas tidak ada yang aneh dengan jam gadang. Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi
coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang
tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan
simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar
empat buah (IIII)
Berdasarkan Wikipedia, sejarah penulisan angka IIII tersebut berdasarkan
kepada King Louis XIV (5 September 1638 - 1 September 1715) yang meminta kepada
seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap
jam sesuai dengan aturan angka Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan
kepadanya, Raja tidak setuju dengan penulisan IV sebagai angka "4"
dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Menurutnya, angka VIII ada di seberang angka IV. Jika ditulis IV, maka ada
ketidakseimbangan secara visual dengan VIII yang lebih berat. Oleh karena itu,
Louis XIV meminta agar diubah IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan
VIII yang ada di seberangnya. Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka
keseimbangan itu akan lebih baik.
Akan tetap yang menjadi pertanyaannya mengapa Raja yang memerintahkan perubahan
itu lebih dikenal dengan Louis XIV daripada Louis XIIII, sesuai dengan
permintaannya kepada pembuat jam.
Dari sebuah situs lain... yang berjudulkan "FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials" dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka "4" telah ada jauh sebelum Louis XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka "4" memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan "4" menjadi IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan
bahwa "empat adalah kurang satu dari lima". Manuskrip Forme of Cury
(1390) menggunakan IX untuk "9" namun IIII untuk "4".
Sedangkan dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX
dan IV untuk "9" dan "4", berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip ketiga yang menggunakan IX untuk "9" dan
campuran antara IIII dan IV untuk "4". Angka "5" juga
ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk "8" dan VV, bukannya X,
untuk "10".
Kesaksian lain dari situs tersebut, Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah
melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV,
semuanya IIII. Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang
membuat jam menara besar-besar menulis "4" dengan IV, bukan IIII.
Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi, implisit
dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an!
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV
adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika
IV diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2,
3, DEWA, 5...
Jika dilihat dari kacamata bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan
mereka ditaruh di jam seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV
, maka mungkin ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang
benar ? kita tidak tahu.
Masih di situs yang sama, menurut Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV
semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus
membuat huruf I sebanyak 16 batang, huruf X sebanyak 4 batang, dan V
sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis
kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk "4",
maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika
"4" ditulis IIII, maka huruf V hanya dibuat empat batang--dengan
demikian ekonomis--dan huruf I sebanyak 20 batang--juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar dari penjelasan ini ? Belum ada yang pasti. Namun,
satu yang kita tahu sekarang adalah bahwa angka IIII di Jam Gadang bukanlah
sesuatu yang unik, aneh atau dianggap sebagai misteri yang dikait-kaitkan
dengan takhayul. Justru dengan angka IIII itulah menjadikan sebuah bukti bahwa
bangsa Eropa (Belanda) memang menjajah kita dulu dan tidak memberi kita barang
yang jelek, justru yang bagus yang masih dipergunakan dan dibanggakan hingga
sekarang.
Wisata Malam di jam gadang
Di kota berhawa sejuk ini jam gadang sepanjang malam tetap ramai dikunjungi
wisatawan lokal maupun luar daerah yang ingin plesiran di tempat yang aman.
Berbagai kuliner dan souvenir pun bias didapati untuk memenuhi kepuasan para wisatawan. Pedagang penganan bergerobak akan memanjakan lidah wisatawan yang hobby berburu makanan. Memang nyaris tak ada perbedaan dengan menikmati jajanan di tempat wisata lain. Tapi romantis suasana sepanjang malam akan lebih menggugah jika kita menjajal roti panggang, nasi goreng, bakmi, bakso, dan makanan bercita rasa khas Minangkabau.
No comments:
Post a Comment